Sambungan minggu lalu
..................................
Pelanggaran
dalam hal music liturgis:
1. Dinyanyikannya lagu-lagu
pop rohani dalam perayaan Ekaristi
Seharusnya:
Tra le Sollecitudini
1 Musik liturgis (sacred
music)… mengambil bagian dalam ruang lingkup umum liturgi, yaitu
kemuliaan Tuhan, pengudusan dan pengajaran umat beriman. Musik liturgis memberi
kontribusi kepada keindahan dan keagungan upacara gerejawi, dan karena tujuan
prinsipnya adalah untuk melingkupi
teks liturgis dengan melodi yang cocok demi pemahaman umat beriman,
tujuan utamanya adalah untuk menambahkan dayaguna-nya kepada teks, agar
melaluinya umat dapat lebih terdorong kepada devosi dan lebih baik diarahkan
kepada penerimaan buah-buah rahmat yang dihasilkan oleh perayaan
misteri-misteri yang paling kudus tersebut.
Tra le Sollecitudini 2
Karena itu musik liturgis (sacred music) … harus kudus, dan harus tidak
memasukkan segala bentuk profanitas, tidak hanya di dalam music itu
sendiri, tetapi juga di dalam cara pembawaannya oleh mereka yang memainkannya.
Tra le Sollecitudini 5 Gereja
telah selalu mengakui dan menyukai kemajuan dalam hal seni, dan menerima bagi
pelayan agama semua yang baik dan indah yang ditemukan oleh para pakar yang ada
sepanjang sejarah – namun demikian, selalu sesuai dengan kaidah-kaidah liturgi.
Karena itu musik modern juga diterima Gereja, sebab musik tersebut
menyelesaikan komposisi dengan keistimewaan, keagungan dan kedalaman, sehingga
bukannya tak layak bagi fungsi-fungsi liturgis. Namun karena musik modern telah
timbul kebanyakan untuk melayani penggunaan profan, maka perhatian yang khusus
harus diberikan sehubungan dengan itu, agar komposisi musik dengan gaya modern
yang diterima oleh Gereja tidak
mengandung apapun yang profan, menjadi bebas dari sisa-sisa
motif yang diangkat dari teater, dan tidak disusun bahkan di dalam bentuk-
bentuk teatrikal seperti cara menyusun lagu- lagu profan.
Harus dibedakan bahwa
untuk lagu-lagu liturgis, lagu bukan hanya sebagai ungkapan perasaan tetapi
ungkapan iman (lex orandi
lex credendi).
2.
Adanya tari-tarian yang menyerupai pertunjukan/ performance diadakan
dalam perayaan Ekaristi, kemudian diikuti dengan tepuk tangan umat.
Seharusnya:
RS 78
… Perlu dihindarkan
suatu Perayaan Ekaristi yang hanya dilangsungkan sebagai pertunjukan
atau menurut gaya upacara-upacara lain, termasuk upacara-upacara profan: agar
Ekaristi tidak kehilangan artinya yang otentik.
Direktorium tentang
Kesalehan Umat dan Liturgi 17 …. Di kalangan sejumlah suku,
nyanyian secara naluriah terkait dengan tepuk tangan, gerak tubuh secara
ritmis, dan bahkan tarian. Ini semua adalah bentuk lahiriah dari gejolak batin
dan merupakan bagian dari tradisi suku ….Jelas, itu hendaknya menjadi ungkapan
tulus doa jemaat dan tidak sekedar menjadi tontonan…
Paus Benediktus XVI
dalam The Spirit of the
Liturgy (San Francisco: Ignatius Press, 2000), p. 198: “Adalah
suatu kekacauan untuk mencoba membuat liturgi menjadi “menarik” dengan
memperkenalkan tarian pantomim (bahkan sedapat mungkin ditarikan oleh grop
dansa ternama), yang sering kali (dan benar, dari sudut pandang
profesionalisme) berakhir dengan applause -tepuk tangan. Setiap kali tepuk
tangan terjadi di tengah liturgi yang disebabkan oleh semacam prestasi manusia,
itu adalah tanda yang pasti bahwa esensi liturgi telah secara total
hilang, dan telah digantikan dengan semacam pertunjukan religius. Atraksi
sedemikian akan memudar dengan cepat- ia tak dapat bersaing di arena
pertunjukan untuk mencapai kesenangan (leisure pursuits), dengan memasukkan
tambahan berbagai bentuk gelitik religius.”
Kardinal Arinze
menjelaskan demikian: bahwa pada budaya-budaya tertentu (yaitu di Afrika dan
Asia), tarian menjadi bagian yang tak terpisahkan dari cara penyembaham, namun
gerakan ini adalah ‘performance’. Dalam budaya ini, gerakan tersebut
dapat diadakan dalam perayaan Ekaristi, namun bukan sebagai pertunjukan. Sedangkan
di tempat-tempat lain di mana tarian tidak menjadi bagian dari penyembahan/
penghormatan (seperti di Eropa dan Amerika) maka memasukkan tarian ke dalam
perayaan Ekaristi menjadi tidak relevan.
3.
Band masuk Gereja dan digunakan sebagai alat musik liturgi
Seharusnya:
Tra le
Sollecitudini 19 Penggunaan alat musik piano tidak diperkenankan
di gereja, sebagaimana juga alat musik yang ribut atau berkesan tidak serius
(frivolous), seperti drum, cymbals, bells dan sejenisnya.
Tra le
Sollecitudini 20 Dilarang keras menggunakan alat musik band di
dalam gereja, dan hanya di dalam kondisi- kondisi khusus dengan persetujuan
Ordinaris dapat diizinkan penggunaan alat musik tiup, yang terbatas jumlahnya,
dengan penggunaan yang bijaksana, sesuai dengan ukuran tempat yang tersedia dan
komposisi dan aransemen yang ditulis dengan gaya yang sesuai, dan sesuai dalam
segala hal dengan penggunaan organ.
Maka diperlukan
izin khusus untuk menggunakan alat-alat musik lain, terutama jika alat tersebut
dapat memberikan efek ribut/ keras, dan berkesan profan/ tidak serius.
Beberapa Pertanyaan tentang
Liturgi:
1. Mengenai musik liturgi,
apa seharusnya alat musik yang digunakan? Bolehkah menggunakan organ dengan
tambahan suara alat musik lain?
Bila mengacu kepada Sacrosanctum Concilium 120, alat musik yang
sebaiknya digunakan adalah organ pipa. Namun demikian, tidak menutup
kemungkinan penggunaan alat musik lain, sepanjang disetujui oleh pihak otoritas
Gereja, dan asalkan sesuai untuk digunakan dalam musik sakral.
SC 120 “Dalam Gereja Latin orgel pipa hendaknya
dijunjung tinggi sebagai alat musik tradisional, yang suaranya mampu
memeriahkan upacara-upacara Gereja secara mengagumkan, dan mengangkat hati Umat
kepada Allah dan ke surga. Akan tetapi, menurut kebijaksanaan dan dengan
persetujuan pimpinan gerejawi setempat yang berwenang, sesuai dengan kaidah
art. 22 (2), 37 dan 40, alat-alat musik lain dapat juga dipakai dalam ibadat
suci, sejauh memang cocok atau dapat disesuaikan dengan penggunaan dalam
liturgi, sesuai pula dengan keanggunan gedung gereja, dan sungguh membantu
memantapkan penghayatan Umat beriman.”
Paus Pius XII mengeluarkan dokumen tentang Musik Liturgis yang berjudul Musicae
Sacrae (MS), dan secara khusus menyebutkan tentang hal ini demikian: MS
59 “Selain organ, alat-alat musik lain dapat digunakan
untuk memberikan bantuan besar dalam mencapai maksud yang tinggi dari musik
liturgi, asalkan mereka tidak memainkan apapun yang profan, yang berisik
atau hingar bingar dan tidak bertentangan dengan pelayanan sakral atau martabat
tempat kudus. Di antara alat-alat musik ini, biola dan alat-alat musik lainnya
yang menggunakan cekungan (bow) adalah baik sebab ketika dimainkan sendiri atau
dengan alat musik senar lainnya, alat- alat musik ini mengekspresikan perasaan
suka cita dan dukacita dalam jiwa dengan kekuatan yang tak dapat dilukiskan…”
Sedangkan tentang hal alat musik ini, Rm. Bosco da Cunha dari Komisi
Liturgi KWI mengatakan: “KWI masih dalam proses berusaha mengaktualisasi
dokumen Sacrosanctum Concilium Konsili Vatikan II; KWI tidak gegabah.
Usaha penelitian dan percobaan alat musik tradisional aneka suku bangsa sudah
mulai dengan “Pusat Musik Liturgi” Yogyakarta dipimpin Romo Karl Edmund Prier
SJ sejak 1980an namun masih berlangsung”. Beliau menyarankan bagi yang berminat
mengetahui lebih lanjut untuk mengunjungi PML Yogyakarta di Jl. Abubakar Ali
Kotabaru Yogyakarta untuk mengetahui studio dan showroom karya-karya musik
liturgi inkulturatif.
2. Bila dikaitkan
dengan adaptasi-adaptasi yang muncul di Sacrosanctum Concilium, bagaimana
batasan-batasannya agar tidak mengontradiksi dokumen-dokumen Gereja lainnya
(dalam hal penentuan musik liturgi)?
Musicae Sacrae 60 “Sebab jika musik itu tidak profan atau bertentangan
dengan kesakralan tempat dan fungsi dan tidak berasal dari keinginan untuk
mencapai efek-efek yang luar biasa dan tidak lazim, maka gereja-gereja kita
harus menerimanya, sebab mereka dapat menyumbangkan dalam cara yang tidak kecil
terhadap keagungan upacara-upacara sakral, dapat mengangkat pikiran kepada
hal-hal yang lebih tinggi dan dapat menumbuhkan devosi yang sejati dari jiwa.”
(lih. MD 193)
Maka, nampaknya yang perlu dijadikan patokan adalah prinsipnya, yaitu:
1)
Tidak memasukkan unsur profanitas dalam musik liturgis;
2)
Musik itu tidak menghasilkan efek suara yang luar biasa dan tak lazim
3)
Musik itu dapat membantu mengangkat pikiran kepada hal- hal yang lebih
tinggi:
Apakah membantu ke-empat hal ini: penyembahan (worship/ adoration), syukur (thanksgiving), pertobatan (contrition), permohonan (supplication).
Apakah membantu ke-empat hal ini: penyembahan (worship/ adoration), syukur (thanksgiving), pertobatan (contrition), permohonan (supplication).
4)
Menggunakan musik-musik yang sudah mendapatkan persetujuan dari otoritas
Gereja (ada Nihil Obstat dan Imprimatur);
5)
Mengacu kepada ketentuan yang sudah pernah secara eksplisit ditentukan oleh
otoritas Gereja.
Bersambung ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar